Dijelaskan Muhazam, sebelumnya pihak Gerindra menemukan dugaan adanya perbedaan data pengguna hak pilih di Sekotong. Karena tidak sesuai antara pengguna hak pilih antara Pilpres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dimana harusnya data pengguna hak suara itu sama untuk lima surat suara tersebut.
“Dari data Gerindra, jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kecamatan Sekotong 48.511. Namun, dalam jumlah pengguna surat suara hak pilih, ditemukan banyak perbedaan,” ucapnya.
Seperti jumlah surat suara hak pilih Pilpres sebanyak 47.936, kemudian DPD RI berjumlah 48.017, lalu DPR RI berjumlah 47.990 dan DPRD Provinsi berjumlah 48.036. Data inilah yang menjadi dasar pihak Gerindra melontarkan protes saat pleno di kabupaten.
“Kita melaporkan PPK dan KPU karena mengabaikan rekomendasi Bawaslu untuk melakukan penyandingan data,” tambah Muhazam.
Tindakan KPU dan PPK yang tidak menindaklanjuti rekomendasi itu dengan tetap kekeh melanjutkan pleno dinilai Gerindra sebagai tindak pidana dan pelanggaran kode etik. Karena sesuai regulasi harusnya KPU wajib mendengarkan rekomendasi dari Bawaslu tersebut.
“Seperti di Kabupaten Lombok Utara, ketika Bawaslu meminta untuk memvalidasi data itu langsung dilakukan buka kotak suara di depan (pleno) untuk menyandingkan Form D1 dengan form C hasil,” ucap Muhazam.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Lombok Barat Rizal Umami mengungkapkan masih ada peluang penyandingan data C dan D dilakukan ditingkat Pleno KPU Provinsi. Pihaknya pun akan berjuang untuk mewujudkan hal tersebut demi penegakan Pemilu yang jujur dan adil sesuai undang-undang.
“Sudah ada empat parpol yang melapor dan laporan ini sedang dalam proses penanganan, baik administrasi kode etik maupun Tipilu yang diduga dilakukan PPK Sekotong,” ungkap Rizal.