Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi menjadi kunci. Semua pihak harus dilibatkan, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH), untuk membuat rumusan tentang batasan-batasan pelecehan seksual. Rumusan ini harus disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan budaya tempat kerja.
Salah satu kebijakan terbaru yang menjadi acuan dalam kegiatan ini adalah Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Kepmenaker ini memberikan panduan yang jelas dan komprehensif bagi perusahaan serta pekerja dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kerja. Di dalamnya juga dijelaskan prosedur pelaporan, penanganan, serta langkah-langkah preventif yang dapat diambil untuk menciptakan tempat kerja yang lebih aman dan bermartabat.
Aryadi mengungkapkan banyak korban kekerasan seksual enggan melapor karena kurangnya pemahaman atau rasa takut. Karena itu perusahaan perlu menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, serta berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam penyelesaian kasus tertentu, dengan tetap mengedepankan pendekatan mediasi untuk resolusi internal.
“Tidak semua kasus harus diselesaikan melalui jalur hukum. Hukum memang penting untuk memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Namun, jika memungkinkan, pendekatan musyawarah dan penyelesaian internal harus menjadi prioritas. Ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih harmonis tanpa menimbulkan permusuhan,” papar Aryadi.
Terakhir, Aryadi menekankan pentingnya pencegahan dengan mengajak perusahaan untuk membangun lingkungan kerja yang aman dan nyaman, serta memperkuat regulasi dan pelaksanaan undang-undang terkait kekerasan seksual di tempat kerja.

“Dengan adanya Satgas ini, kami berharap tidak hanya meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual di tempat kerja, tetapi juga memberikan langkah konkret dalam penanganannya. Pekerja berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman, bebas dari kekerasan, dan diskriminasi,” tutupnya.