Aryadi menjelaskan bahwa dalam hubungan industrial, terdapat dua jenis regulasi yang harus dipatuhi oleh perusahaan, yakni peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh negara, termasuk undang-undang ketenagakerjaan yang saat ini masih dalam masa transisi untuk dipisahkan dari UU Cipta Kerja, serta peraturan otonom yang dibuat oleh masing-masing perusahaan atau asosiasi, seperti SOP, etika kerja, dan regulasi internal.
“Undang-undang ketenagakerjaan harus menjadi pedoman utama, sementara aturan internal perusahaan atau asosiasi tidak boleh bertentangan dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah,” tegasnya.
Salah satu isu krusial yang dibahas dalam Rakorda ini adalah kebijakan upah bagi tenaga pengamanan. Aryadi menyoroti pentingnya penerapan upah yang adil berdasarkan kompetensi dan pengalaman kerja.
Ia menjelaskan bahwa penetapan upah minimum merupakan kebijakan negara yang untuk tahun 2025 telah ditetapkan langsung oleh Presiden. Namun, daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan upah minimum sektoral bagi sektor yang memiliki risiko tinggi, termasuk tenaga sekuriti.
Aryadi mengungkapkan bahwa saat ini, NTB belum pernah menetapkan upah minimum sektoral. Padahal, jika disepakati dan memenuhi syarat, tenaga sekuriti bisa mendapatkan upah lebih tinggi dibandingkan UMP atau UMK.
“Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Jika ada tenaga sekuriti yang telah bekerja lebih dari lima tahun tetapi masih menerima upah minimum, maka perusahaan harus menerapkan Struktur Skala Upah (SUSU) agar upahnya meningkat seiring pengalaman dan kompetensinya,” jelas Aryadi.
Ia juga membuka peluang bagi ABUJAPI untuk mengusulkan penerapan upah minimum sektoral bagi tenaga sekuriti di NTB, mengingat tingginya risiko pekerjaan di bidang ini.
“Kita bisa kaji bersama, apakah tenaga sekuriti termasuk dalam kategori pekerjaan dengan risiko tinggi sehingga layak mendapatkan upah minimum sektoral yang lebih tinggi dari upah minimum provinsi atau kabupaten/kota,” tambahnya.